Beranda | Artikel
Kapan Seseorang Dikatakan Mendapati Shalat Jamaah
Jumat, 25 September 2020

KAPAN SESEORANG DIKATAKAN MENDAPATI SHALAT JAMA’AH

Oleh
Dr Shalih bin Ghanim As-Sadlan

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan seseorang dapat dikatakan telah mendapati shalat berjama’ah bersama imam. Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat Pertama.
Seseorang dikatakan mendapati shalat jama’ah bila mendapati satu rukuk bersama imam. Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, Al-Ghazali dari madzhab Asy-Syafi’iyah, salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan juga pendapat Ibnu Abi Musa serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah.[1]

Dalilnya adalah sebagai berikut :
1. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Barangsiapa mendapati satu raka’at bersama imam berarti ia telah mendapati shalat jama’ah” [Muttafaqun ‘Alaihi]

2. Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُهُ

Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat Jum’at atau shalat jama’ah lainnya berarti ia telah mendapati shalat berjama’ah”[Sunan Ibnu Majah I/202 no. 1110]

Kedua hadits diatas secara jelas menyatakan bahwa siapa saja yang mendapati satu rakaat shalat Jum’at maupun shalat lainnya bersama imam berarti ia telah mendapati shalat jama’ah. Shalat jama’ah termasuk dalam rangkaian shalat yang hanya dikatakan mendapatinya bila telah mendapati satu raka’at.

Syaikhul Islam mengajukan dua argumentasi.

  1. Menurut syari’at, takbir tidaklah berkaitan dengan hukum apapun, tidak berkaitan dengan waktu dan tidak pula dengan jama’ah. Syari’at tidak mengaitkannya dengan hukum apapun. Maka dari itu tidak boleh mengaitkan hukum syar’i dengannya, syariat hanya mengaitkan status, dapat atau tidaknya shalat berjama’ah dengan hanya mendapati satu raka’at.
  2. Bila tidak mendapati satu raka’at pun bersama imam maka tidaklah dianggap mendapati jama’ah. Karena ia menyelesaiakan sendirian seluruh bagian shalatnya. Ia akan terhitung mendapati satu pun bagian shalat bersama imam, seluruh bagian shalatnya ia kerjakan sendirian.[2]

Pendapat Kedua
Shalat jama’ah didapat apabila masih sempat mendapati takbir bersama imam sebelum salam. Ini merupakan pendapat ulama Hanafiyah, Ay-Syafi’iyah dan sebuah riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad dan merupakan pendapat yang dipilih oleh kebanyakan rekan-rekan beliau.[3]

Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

إِذَا سَمِعْتُمْ اَلْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى اَلصَّلَاةِ, وَعَلَيْكُمْ اَلسَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ, وَلَا تُسْرِعُوا, فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا, وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Jika shalat telah ditegakkan maka janganlah kamu mendatanginya dengan tergesa-gesa. Berjalanlah dengan tenang dan kerjakanlah apa yang kamu dapati bersama imam serta sempurnakanlah apa yang terluput darinya” [Shahih Muslim I/420 no. 602]

Bentuk pengambilan dalil hadits ini adalah sebagai berikut : “Siapa saja yang telah mendapati imam sujud atau duduk tasyahud akhir maka ia bisa disebut shalat bersama imam. Hanya saja ia harus menyempurnakan shalat yang terluput. Maka dari itu siapa saja yang mendapati satu takbir sebelum imam mengucapkan salam ia terhitung telah mendapati shalat jama’ah.

Abu Umar Ibnu Qudamah mengemukakan dua alasan sebagai berikut.

  1. Ia telah mendapati satu bagian dari shalat imam, maka ia seolah-olah telah mendapati satu raka’at.
  2. Jika ia mendapati satu bagian dari shalat imam lalu ia sempat bertakbir bersama imam maka ia harus meniatkan keadaannya saat itu, yakni sebagai makmum. Dengan begitu ia terhitung telah mendapati shalat jama’ah.[4]

Pendapat Terpilih
Setelah meneliti dua pendapat di atas dan dalil-dalil serta alasan yang dikemukakan, jelaslah bahwa pendapat yang terpilih adalah pendapat yang pertama, karena berpatokan kepada hadits shahih. Pengambilan dalil dari hadits shahih termasuk bab mantuq, dan dalam kaedah Ushul Fiqh dijelaskan bahwa mantuq lebih di dahulukan daripada mafhum.[5]

[Disalin dari kitab Shalatul Jama’ah Hukumuha wa Ahkamuha wa Tanbbih Alaa maa Yaqa’u Fiiha min Bida’ wa Akhtaa’, Edisi Indonesia Bimbingan Lengkap Shalat Jama’ah Menurut Sunnah Nabi, Penulis Dr Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Penerbit At-Tibyan – Solo]
_____
Footnote
[1] Silakan lihat Jawaahirul Ikliil Syarah Mukhtashar Khalil (I/76), Al-Wajiiz hal. 55) Al-Inshaaf (II/222), Majmu Fatawa (XXIII/331), Al-Mukhtaraat Al-Jaliyyah (II/25)
[2] Silakan lihat Majmu Fatawa 23/332-333
[3] Silakan lihat Hasyiyatu Ibnu Abidin II/59, Al-Mjmu IV/184 dan Al-Inshaaf (II/221)
[4] Silahkan lihat Al-Mughni II/177-178
[5] Silakan lihat Atsarul Ikhtilaf fil Qawaa’id Al-ushuliyah fi ikhtilaaf Al-Ulamaa, hal. 64 karangan Dr Musthafa bin Sa’id Al-Khan


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/23117-kapan-seseorang-dikatakan-mendapati-shalat-jamaah-2.html